ORANG JUJUR “MANUSIA LANGKA” DI NEGERI INI
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kamu sekalian berbuat jujur. Sebab kejujuran membimbing kearah kebajikan. Dan kebajikan membimbing kearah syurga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing kearah kejelekan. Dan kejelekan membimbing kearah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari Muslim)
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya.
Maka sikap jujur sesungguhnya adalah upaya melakukan sesuatu atau menyampaikan sesuatu sesuai yangg sebenarnya. Artinya jika kita jujur, kita akan melakukan sesuatu yang benar, dengan cara atau tahapan benar, untuk tujuan yang benar, dan dasar yang benar. “ Janganlah engkau melihat kualitas diri seseorang itu dari panjang rukuk dan sujudnya, tetapi lihatlah dari kejujuran dan kesetiaan dalam menjalankan amanah”, demikian nasihat Imam Ja’far Ash-Shadiq. Hal ini sesuai dengan surah An-Nisa ayat 69, yang artinya : “ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shadiqin (orang-orang jujur dan mencintai kebenaran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itu teman sebaik-baiknya”.
Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Maka kejujuran itu bisa diklasifikasikan kedalam beberapa hal, sebagai berikut :
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Sekarang, sudahkah kita memiliki komitmen melaksanakan amanah dan besikap serta berkata jujur? Jika sudah mari kita ajak keluarga kita, teman-teman kita, para atasan kita, para ustadz (murobbi) kita, para pemimpin dan wakil di pemerintahan kita untuk melaksanakan amanah yang diemban dan untuk bersikap serta berkata jujur. Sebagai pribadi kita harus melaksanakan amanah Allah untuk mengosongkan diri dari kemaksiatan, mengisi dengan iman dan ilmu, dan menghiasi dengan akhlak mulia. Kita juga usahakan agar keluarga kita memiliki kecerdasan aqliyah, kekokohan aqidah, dan keistiqamahan amaliyah.
Setelah itu mari kita mendemonstrasikan akhlak mulia secara kolektif agar menjadi people power (kekuatan rakyat) dan gerakan oposisi untuk menekan para pemimpin dan wakil kita di pemerintahan dan DPR agar berakhlak mulia, berpikiran cerdas dan dewasa, bersikap adil dan bijaksana, serta segera menepati janji dan melaksanakan amanah dalam menyejahterkan rakyat. Kita tidak butuh perdebatan yang emosional dan tidak cerdas dalam upaya membela rakyat seperti saat ini dan yang telah lalu.
Beberapa hal yang pantas jadi bahan renungan :
1. Pedagang yang jujur akan disenangi oleh pelanggannya. Tiap kali dia gelar barang dagangannya, dia tunjukkan kepada pembeli mana yang cacat dan mana yang baik. Tak pernah dia mengurangi timbangan, walaupun pembeli tidak mengetahuinya
2. Penguasa (politisi) yang jujur dan membuktikan janji-janjinya akan dipercaya rakyatnya. Mereka tidak segan-segan mengikutsertakan suaranya dalam pemilihan untuk memilihnya. Tetapi penguasa yang mengumbar kebohongan tidak akan mendapat simpati dan kepercayaan rakyatnya
3. Anak-istri akan percaya kepada suaminya yang jujur, manakala dia bebergian keluar kota dalam beberapa hari.
4. Orang tua akan percaya anaknya yang jujur saat berada di luar rumah.
5. Murid yang jujur akan dipercaya gurunya.
6. Pembantu yang jujur akan disenangi majikannya.
7. dan hal hal lain yang tidakdisebutkan lagi
Namun kita tidak boleh putus asa dan harus yakin bahwa kualitas para pemimpin di pemerintahan dan wakil di DPR adalah gambaran kualitas masyarakat kita yang belum berkualitas secara kolektif. Dengan demikian kita kaum muslim yang mayoritas harus peduli perkembangan politik dan harus mampu memilih pemimpin dan wakil rakyat yang beraqidah kuaat, berpikiran cerdas, berakhlak mulia, bersikap adil dan mau melaksanakan amanah, serta jujur dalam berucap dan bertindak. Begitu pula jika Allah memberi amanah kepada kita untuk berkuasa atau memimpin bangsa, Allah memerintahkan kita bersikap adil, mengayomi, dan melindungi orang-orang tertindas dan minoritas, siapa pun orangnya. Sekarang, dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, kita sarankan kepada wakil kita di DPR: bersikaplah proaktif; janganlah melakukan tindakan anarkis dan menyengsarakan diri seperti mogok makan atau membakar diri, dsb.
“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”, begitu perintah Allah dalam Al-Quran (QS.2:195);
Selain itu laksanakanlah perintah: “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah”. Jika belum berhasil juga, Allah telah menganugerahi kita akal untuk berpikir.
Negara Republik Indonesia ini akan semakin cepat sejahtera bila dikelola orang orang JUJUR yang punya kapabilitas dan kompetensi manajerial memanfaatkan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam dalam mewujudkan “Baldathun Thoiyyibathun wa Robbun Gahofur” . Sehingga ungkapan NEGARA BERKEMBANG yang kita dengar mulai kita dilahirkan menjadi NEGARA MAJU…..harapan itu pasti. Walau satu orang yang bersikap juju meninggal dunia mungkin tak ditemukan gantinya, tetapi politisi, pejabat meninggal sudah beribu orang antri menjadi PENGGANTI
By. MUKTAR HELMI. Guru SMP Neg. 3 Padangsidimpuan
Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kamu sekalian berbuat jujur. Sebab kejujuran membimbing kearah kebajikan. Dan kebajikan membimbing kearah syurga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing kearah kejelekan. Dan kejelekan membimbing kearah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis disisi Allah sebagai pendusta” (HR. Bukhari Muslim)
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya.
Maka sikap jujur sesungguhnya adalah upaya melakukan sesuatu atau menyampaikan sesuatu sesuai yangg sebenarnya. Artinya jika kita jujur, kita akan melakukan sesuatu yang benar, dengan cara atau tahapan benar, untuk tujuan yang benar, dan dasar yang benar. “ Janganlah engkau melihat kualitas diri seseorang itu dari panjang rukuk dan sujudnya, tetapi lihatlah dari kejujuran dan kesetiaan dalam menjalankan amanah”, demikian nasihat Imam Ja’far Ash-Shadiq. Hal ini sesuai dengan surah An-Nisa ayat 69, yang artinya : “ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shadiqin (orang-orang jujur dan mencintai kebenaran), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itu teman sebaik-baiknya”.
Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Maka kejujuran itu bisa diklasifikasikan kedalam beberapa hal, sebagai berikut :
1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)
4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”
5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Sekarang, sudahkah kita memiliki komitmen melaksanakan amanah dan besikap serta berkata jujur? Jika sudah mari kita ajak keluarga kita, teman-teman kita, para atasan kita, para ustadz (murobbi) kita, para pemimpin dan wakil di pemerintahan kita untuk melaksanakan amanah yang diemban dan untuk bersikap serta berkata jujur. Sebagai pribadi kita harus melaksanakan amanah Allah untuk mengosongkan diri dari kemaksiatan, mengisi dengan iman dan ilmu, dan menghiasi dengan akhlak mulia. Kita juga usahakan agar keluarga kita memiliki kecerdasan aqliyah, kekokohan aqidah, dan keistiqamahan amaliyah.
Setelah itu mari kita mendemonstrasikan akhlak mulia secara kolektif agar menjadi people power (kekuatan rakyat) dan gerakan oposisi untuk menekan para pemimpin dan wakil kita di pemerintahan dan DPR agar berakhlak mulia, berpikiran cerdas dan dewasa, bersikap adil dan bijaksana, serta segera menepati janji dan melaksanakan amanah dalam menyejahterkan rakyat. Kita tidak butuh perdebatan yang emosional dan tidak cerdas dalam upaya membela rakyat seperti saat ini dan yang telah lalu.
Beberapa hal yang pantas jadi bahan renungan :
1. Pedagang yang jujur akan disenangi oleh pelanggannya. Tiap kali dia gelar barang dagangannya, dia tunjukkan kepada pembeli mana yang cacat dan mana yang baik. Tak pernah dia mengurangi timbangan, walaupun pembeli tidak mengetahuinya
2. Penguasa (politisi) yang jujur dan membuktikan janji-janjinya akan dipercaya rakyatnya. Mereka tidak segan-segan mengikutsertakan suaranya dalam pemilihan untuk memilihnya. Tetapi penguasa yang mengumbar kebohongan tidak akan mendapat simpati dan kepercayaan rakyatnya
3. Anak-istri akan percaya kepada suaminya yang jujur, manakala dia bebergian keluar kota dalam beberapa hari.
4. Orang tua akan percaya anaknya yang jujur saat berada di luar rumah.
5. Murid yang jujur akan dipercaya gurunya.
6. Pembantu yang jujur akan disenangi majikannya.
7. dan hal hal lain yang tidakdisebutkan lagi
Namun kita tidak boleh putus asa dan harus yakin bahwa kualitas para pemimpin di pemerintahan dan wakil di DPR adalah gambaran kualitas masyarakat kita yang belum berkualitas secara kolektif. Dengan demikian kita kaum muslim yang mayoritas harus peduli perkembangan politik dan harus mampu memilih pemimpin dan wakil rakyat yang beraqidah kuaat, berpikiran cerdas, berakhlak mulia, bersikap adil dan mau melaksanakan amanah, serta jujur dalam berucap dan bertindak. Begitu pula jika Allah memberi amanah kepada kita untuk berkuasa atau memimpin bangsa, Allah memerintahkan kita bersikap adil, mengayomi, dan melindungi orang-orang tertindas dan minoritas, siapa pun orangnya. Sekarang, dalam menyikapi kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, kita sarankan kepada wakil kita di DPR: bersikaplah proaktif; janganlah melakukan tindakan anarkis dan menyengsarakan diri seperti mogok makan atau membakar diri, dsb.
“…dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”, begitu perintah Allah dalam Al-Quran (QS.2:195);
Selain itu laksanakanlah perintah: “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah”. Jika belum berhasil juga, Allah telah menganugerahi kita akal untuk berpikir.
Negara Republik Indonesia ini akan semakin cepat sejahtera bila dikelola orang orang JUJUR yang punya kapabilitas dan kompetensi manajerial memanfaatkan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam dalam mewujudkan “Baldathun Thoiyyibathun wa Robbun Gahofur” . Sehingga ungkapan NEGARA BERKEMBANG yang kita dengar mulai kita dilahirkan menjadi NEGARA MAJU…..harapan itu pasti. Walau satu orang yang bersikap juju meninggal dunia mungkin tak ditemukan gantinya, tetapi politisi, pejabat meninggal sudah beribu orang antri menjadi PENGGANTI
By. MUKTAR HELMI. Guru SMP Neg. 3 Padangsidimpuan
Komentar
Posting Komentar